Artikel,  Catatan,  Featured Posts,  Tips Parenting

Cegah Stunting untuk Indonesia Sehat


Stunting atau masyarakat pada umumnya mengenalnya dengan kata kerdil merupakan salah satu masalah yang harus diselesaikan bangsa. Menurut Menkes Nila Moeloek stunting itu adalah “gagal pertumbuhan, kerdil badan karena kekurangan gizi kronis, ini mengakibatkan otaknya juga kerdil. Artinya anak-anak itu jadi kurang pandai,”
Stunting merupakan manifestasi dari kegagalan pertumbuhan yang dimulai sejak dalam kandungan hingga anak berusia dua tahun (1000 Hari Pertama Kelahiran). Efek ini akan terlihat ketika anak berumur 14 tahun, misal memiliki IQ yang lebih rendah dibandingkan anak yang mendapatkan nutrisi cukup , serta berpotensi menderita stunting (pendek).

Menurut UNICEF, stunting didefinisikan sebagai persentase anak-anak usia 0 sampai 59 bulan, dengan tinggi di bawah minus (stunting sedang dan berat) dan minus tiga (stunting kronis) diukur dari standar pertumbuhan anak keluaran WHO. Selain pertumbuhan terhambat, stunting juga dikaitkan dengan perkembangan otak yang tidak maksimal, yang menyebabkan kemampuan mental dan belajar yang kurang, serta prestasi sekolah yang buruk. Stunting dan kondisi lain terkait kurang gizi, juga dianggap sebagai salah satu faktor risiko diabetes, hipertensi, obesitas dan kematian akibat infeksi.
Penyebab Stunting Situs Adoption Nutrition yang dirilis dari Kompas menyebutkan, stunting berkembang dalam jangka panjang karena kombinasi dari beberapa atau semua faktor-faktor berikut:
1. Kurang gizi kronis dalam waktu lama
2. Retardasi pertumbuhan intrauterine
3. Tidak cukup protein dalam proporsi total asupan kalori
4. Perubahan hormon yang dipicu oleh stres
5. Sering menderita infeksi di awal kehidupan seorang anak.
Perkembangan stunting adalah proses yang lambat, kumulatif dan tidak berarti bahwa asupan makanan saat ini tidak memadai. Kegagalan pertumbuhan mungkin telah terjadi di masa lalu seorang.

Gejala Stunting
1. Anak berbadan lebih pendek untuk anak seusianya
2. Proporsi tubuh cenderung normal tetapi anak tampak lebih muda/kecil untuk usianya
3. Berat badan rendah untuk anak seusianya 4. Pertumbuhan tulang tertunda
Masalah stunting merupakan ancaman bagi Indonesia, karena anak stunting tidak hanya terganggu pertumbuhan fisik tapi juga pertumbuhan otak. Efeknya, SDM menjadi tidak produktif yang berdampak pada terganggunya kemajuan negara.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) membatasi masalah stunting di setiap negara, provinsi, dan kabupaten sebesar 20%, sementara Indonesia mencapai 29,6%. Berdasarkan Pemantauan Status Gizi (PSG) pada 2017, prevalensi Balita stunting di Indonesia dari 34 provinsi hanya ada 2 provinsi yang berada di bawah batasan WHO tersebut, yakni Yogyakarta (19,8%) dan Bali (19,1%). Provinsi lainnya memiliki kasus dominan tinggi dan sangat tinggi sekitar 30% hingga 40%.
Untuk Indonesia sehat melalui pencegahan stunting, pemerintah berkomitmen untuk menurunkan angka stunting melalui beberapa kebijakan kesehatan. Kebijakan tersebut berupa program yang dicanangkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI di antaranya Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK), Pemberian Makanan Tambahan (PMT), dan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).

PIS-PK telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI nomor 39 tahun 2016 tentang pedoman penyelenggaraan PIS-PK. Program ini dilakukan dengan mendatangi langsung ke masyarakat untuk memantau kesehatan masyarakat, termasuk pemantauan gizi masyarakat untuk menurunkan angka stunting oleh petugas Puskesmas.
PIS-PK merupakan salah satu cara Puskesmas untuk meningkatkan jangkauan sasaran dan mendekatkan akses pelayanan kesehatan di wilayah kerjanya dengan mendatangi keluarga. Diharapkan gizi masyarakat akan terpantau di seluruh wilayah terutama di daerah dan perbatasan agar penurunan angka stunting bisa tercapai.
Kemudian, terkait PMT sudah di atur dalam Permenkes RI nomor 51 tahun 2016 tentang Standar Produk Suplementasi Gizi. Dalam Permenkes itu telah diatur Standar Makanan Tambahan untuk Anak Balita, Anak Usia Sekolah Dasar, dan Ibu Hamil. Pemberian makanan tambahan yang berfokus baik pada zat gizi makro maupun zat gizi mikro bagi balita dan ibu hamil sangat diperlukan dalam rangka pencegahan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan balita stunting. Pemerintah dlam hal ini melalui Kementrian Kesehatan melakukan intervensi gizi spesifik meliputi suplementasi gizi makro dan mikro (pemberian tablet tambah darah, Vitamin A, taburia), pemberian ASI Eksklusif dan MP-ASI, fortifikasi, kampanye gizi seimbang, pelaksanaan kelas ibu hamil, pemberian obat Cacing, penanganan kekurangan gizi, dan JKN.
Pemberian makanan tambahan pada anak usia sekolah dasar diperlukan dalam rangka meningkatkan asupan gizi untuk menunjang kebutuhan gizi selama di sekolah dan di usianya saat remaja. Makanan tambahan yang diberikan dapat berbentuk makanan keluarga berbasis pangan lokal dengan resep-resep yang dianjurkan. Makanan lokal lebih bervariasi dan tetap perlu diingat metode dan lamanya memasak sangat menentukan ketersediaan zat gizi yang terkandung di dalamnya. Suplementasi gizi dapat juga diberikan berupa makanan tambahan pabrikan, yang lebih praktis dan lebih terjamin komposisi zat gizinya.
Selain itu, pemenuhan gizi anak sejak dini bahkan sejak dalam kandungan atau disebut 1000 HPK perlu diperhatikan. 1000 HPK dimulai sejak dari fase kehamilan (270 hari) hingga anak berusia 2 tahun (730 hari). Penelitian menunjukkan bahwa konsumsi protein berpengaruh pada pertambahan tinggi dan berat badan anak di atas 6 bulan. Anak yang mendapat protein 15 persen dari total asupan kalori ternyata memiliki badan yang lebih tinggi dibandingkan anak yang hanya mendapat protein 7,5 persen dari total asupan kalori. Sumber protein sendiri bisa diperoleh dari nabati (kacang-kacangan, umbi-umbian, biji-bijian, dan sayuran) dan hewani (daging sapi, ayam, ikan, telur, dan susu). Anak usia 6 sampai 12 bulan dianjurkan mengonsumsi protein harian sebanyak 1,2 g/kg berat badan. Sementara anak usia 1 – 3 tahun membutuhkan protein harian sebesar 1,05 g/kg berat badan.
Tantangan gizi yang dialami selama fase kehamilan adalah status gizi seorang wanita sebelum hamil. Hal itu sangat menentukan awal perkembangan plasenta dan embrio. Berat badan ibu pada saat pembuahan, baik menjadi kurus atau kegemukan dapat mengakibatkan kehamilan beresiko dan berdampak pada kesehatan anak dikemudian hari. Kebutuhan gizi akan meningkat pada fase kehamilan, khususnya energi, protein, serta beberapa vitamin dan mineral sehingga ibu harus memperhatikan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsinya.
Janin memiliki sifat plastisitas (fleksibilitas) pada periode perkembangan. Janin akan menyesuaikan diri dengan apa yang terjadi pada ibunya, termasuk apa yang dimakan oleh ibunya selama mengandung. Jika nutrisinya kurang, bayi akan mengurangi sel-sel perkembangan tubuhnya. Oleh karena itu, pemenuhan gizi pada anak di 1000 HPK menjadi sangat penting, sebab jika tidak dipenuhi asupan nutrisinya, maka dampaknya pada perkembangan anak akan bersifat permanen. Perubahan permanen inilah yang menimbulkan masalah jangka panjang seperti stunting.
Masalah gizi anak yang menyebabkan stunting dan kekurangan gizi pada ibu hamil seringkali tidak disadari baik itu oleh individu, keluarga, maupun masyarakat. Peran petugas kesehatan termasuk masyarakat menjadi penting dalam mensosialisasikan gizi baik di Posyandu atau Puskesmas. Hal penting lainnya adalah memperhatikan gizi remaja putri, terutama oleh orang tuanya. Remaja putri tersebut harus memiliki gizi yang cukup agar kelak ketika hamil mampu memberi asupan gizi pada janinnya.

Untuk Indonesia sehat, kita sebagai warga bagian dari sebuah Negara Indonesia mari kita hidup sehat, dengan rajin berolahraga, makan makanan yang bergizi dengan perbanyak makan sayur dan buah, dan cek kesehatan secara berkala. Semoga dengan demikian akan lahir bayi bayi sehat jiwa dan raga untuk Indonesia.
 with love umimami

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *