Artikel,  Catatan,  Featured Posts,  Homeschooling,  Tips Parenting

Homeschooling – Antara Kebutuhan dan Cibiran

Oke, akhirnya Koko  (7 tahun) mengajukan permohonan yang sebenarnya agak memberatkan bagi kami; “Koko mau homeschooling.”
Huff! Terasa berat karena kami merasa bakalan memikul tanggung jawab yang lebih banyak dan lebih kompleks dalam pendampingan belajarnya.
Tapi demi menjaga gairah belajarnya tetap membara, dan berupaya menyediakan pilihan jalur pendidikan yang memang paling cocok untuknya, kami mencoba memenuhi permohonan Koko.
Dan iyes, dalam perjalanannya yang baru seumur jagung ini, beberapa pertanyaan mulai datang, baik dari dalam diri kami sendiri maupun dari orang lain. Entah benar-benar bertanya karena ingin tahu ataukah sekedar mempertanyakan. 
Setelah diingat-ingat lagi, bagus juga nih kalau dirangkum, bisa menjadi rumusan pertanyaan yang paling sering dipertanyakan pada jalur pendidikan homeschooling (hehe). 
Berikut rangkumannya, semoga bermanfaat untuk teman-teman lain yang sedang mempertimbangkan untuk menempuh jalur homeschooling juga, atau sekedar penasaran dengan homeschooling, aaataaauuu, bisa memperkuat keyakinan yang sudah ada saat memilih homeschooling.
1. SIAPA YANG NGAJARIN?

“Al ummu Madrasatul ula'” – Ibu adalah sekolah pertama. 
Demikian pepatah yang sering kita dengar, dan memang kita yakini sejak awal menerima kehadiran bayi di pangkuan kita (tentunya tanpa mengabaikan peran Ayah sebagai pendidik utama yang telah disebutkan dalam Al Quran melalui pengabadian ksiah-kisah dari para pendidik hebat sepanjang masa, Nabi Ibrahim, Lukman, dan Nabi Muhammad).
Tetapi entah bagaimana, keyakinan bahwa kedua orangtua adalah pendidik utama anak-anak perlahan bergeser sejak anak memasuki usia sekolah, yang saat ini semakin muda. Bahkan anak usia 3 tahun seringkali sudah ditanya “sudah sekolah, belum?”.
Dalam homeschooling, anak-anak sebenarnya diarahkan untuk menjadi pembelajar mandiri, alias mampu belajar sendiri, yang meliputi:

  • Mampu memilih bidang yang ingin dipelajarinya
  • Mampu mencari dan memilih sumber belajarnya (komunitas, buku, internet, video, tempat les/bimbingan, dan berbagai tools pembelajaran lainnya).
  • Mampu menyusun jadwal belajarnya sendiri.
Namun hingga masa “pembelajar mandiri” itu tiba, anak-anak akan membuthkan dominasi orangtuanya sebagai pendidik utama, untuk mendampingi, mengarahkan, memotivasi, dan memfasilitasi kebutuhan belajarnya. 

Maka, peran orangtua sebenarnya bukan sebagai guru yang mengajar segala yang diketahuinya, melainkan lebih sebagai fasilitator yang memancing dan memfasilitasi kebutuhan belajar anak-anaknya.
Jadi, siapa yang ngajarin?
Ya bisa siapa saja, asal berkompeten dengan bidang yang sedang ingin dipelajari anak. Dalam suatu keluarga, seorang adik bahkan bisa mengajari kakaknya kalau memang sang adik berkompeten di bidang yang ingin dipejari oleh kakak. 
Dengan homeschooling, kesempatan anak untuk belajar pada siapa saja menjadi terbuka sangat lebar. Anak dapat belajar pada pakar, praktisi, instansi, komunitas, guru les, tokoh, dll.

2. ANAKNYA JADI KUPER DONK?

Nah, jika sudah memahami uraian pada poin sebelumnya, pasti tidak ada lagi yang menyangka bahwa seorang anak homeschooling akan menjadi kurang pergaulan, kan? πŸ™‚
Kesempatannya belajarnya saja terbuka sangat lebar, maka ruang lingkup pergaulannya pun ttidak hanya sebatas pada teman seumuran selama bertahun-tahun, melainkan pergaulan dengan lintas usia, lintas jenis kelamin, lintas profesi, bahkan lintas negara (lewat e-learning).
Bikin ngilerr ga tuh? πŸ˜€

3. IJAZAHNYA GIMANA?

Sesekali malah kami yang ingin bertanya, memangnya kalau ndak punya ijazah, seseorang ga bisa survive dan sukses? :p
Baiklah, tapi abaikan dulu hal itu.
Di Indonesia, ijazah memang masih memegang peranan yang penting dalam dunia pendidikan dan pekerjaan. Terbukti, rasio perbandingan antara kampus yang menerima mahasiswa dengan mencantumkan ijazah SMU/sederajat sebagai persyaratan administrasi masih jauh lebih banyak tinimbang kampus yang tidak memberlakukan persyaratan tersebut. Pun demikian dengan dunia kerja, ijazah kesajarnaan masih menempati urutan pertama seleksi calon karyawan.
Jadi wajar saja bila orang-orang selalu mempertanyakan keabsahan pendidikan melalui jalur homeschooling dengan bertanya soal ijazahnya.
Sebenarnya, sebuah keberhasilan pendidikan tidak bisa hanya diukur dari kehadiran selembar ijazah saja, tetapi hendaknya lebih banyak dilihat dari daftar karya nyata alias portfolio seseorang dari hasil belajarnya selama ini.
Jadi, bagi sebagian keluarga homeschooling, ijazah bukan menjadi prioritas untuk dikejar. Mereka lebih mengejar target jumlah portfolio anak.
Sedangkan bagi sebagian keluarga homeschooling yang lain, yang masih ingin memiliki ijazah, sah-sah saja. Ijazah ini dapat diperoleh dari mengikuti ujian kesetaraan paket A (setara SD), paket B (setara SMP), dan paket C (setara SMU). Keberadaaan ijazah kesetaraan ini dilindungi undang-undang dan memiliki legalitas hukum, meski saat ini baru beberapa kampus yang mau menerimanya.

Bagi yang ingin mengikuti ujian kesetaraan, dapat menghubungi PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) terdekat untuk mengetahui prosedurnya.


4. NANTI BISA KULIAH?

Ya bisa. πŸ™‚
Pilihannya antara lain:

  • Kampus yang menerima ijazah kesetaraan.
  • Kampus yang tidak mensyaratkan ijazah SMU/sederajat ataupun ijazah kesetaraan, melainkan hanya memberlakukan ujian wawancara dengan calon mahasiswa.
  • Kampus yang memberlakukan seleksi portfolio anak sesuai dengan bidang yang dipilihnya.
Pilihan kuliah pun terbentang lebar, antara perkuliahan konvensional (datang ke kampus seperti biasa), atau perkuliahan online (tatap muka melalui webinar, dsb).

Saat ini sudah banyak kampus di luar negeri yang menyelenggarakan perkuliahan online agar mahasiswa dari berbagai penjuru dunia dapat mengikutinya tanpa harus pindah ke negara di  mana kampus tersebut berada. 
Karena homeschooling tidak berjenjang sebagaimana sistem persekolahan formal, maka sangat dimungkinkan anak-anak homeschooling sudah bisa kuliah di usai yang relatih masih muda, misalnya 12 tahun (seperti Dona, yang sudah menyelesaikan 12 mata kuliah online. Silakan googling ksiahnya), atau 14-15 tahun (seperti 2 putri pasangan Pak Dodik dan Ibu Septi Peni Wulandari, Founder Institute Ibu Profesional. Lagi-lagi, boleh googling ya kalau penasaran dengan kisah mereka).
Asyik, kan? πŸ™‚

5. ANAKNYA BERKEBUTUHAN KHUSUS?

Sejatinya, tidak ada dua anak yang persis sama di dunia ini, meski terlahir dari rahim yang sama. Anak kembar identik sekalipun memiliki perbedaan-perbedaan kebutuhan yang khas, termasuk kebutuhan belajarnya. 
Lihat saja, tidak ada 2 sidik jari yang sama kan di dunia ini?
Maka, sebenarnya setiap anak memang berkebutuhan khusus. Mereka memiliki kebutuhan untuk belajar dengan caranya sendiri, dalam kecepatannya sendiri, dan sesuai dengan potensinya sendiri-sendiri.
Jadi, jika yang dimaksudkan dengan “berkebutuhan khusus” adalah tentang spesifikasi belajar, maka YES, homeschooling sangat bisa untuk memenuhi kebutuhan khusus setiap anak, karena dalam homeschooling tidak ada penyeragaman kurikulum untuk semua anak sebagaimana yang dilakukan dalam sistem persekolahan formal.
Tetapi jika yang dimaksudkan dengan “berkebutuhan khusus” adalah anak-anak yang memiliki kelainan bawaan, sakit tertentu, maka, NO, pernyataan ataupun pertanyaan tersebut tidak sesuai dengan makna homeschooling yang sesungguhnya.

6. BIAYANYA MAHAL YA?

Karena pendidikan diatur dan dikelola sendiri oleh keluarga, maka biaya pendidikan untuk jalur homeschooling menjadi sangat fleksibel. Bisa lebih mahal dari sekolah formal, bisa sama saja, atau bisa juga lebih murah.
Persoalan biaya ini bergantung pada bagaimana keluarga memilih sumber belajar, cara belajar, dan lain-lain. Semakin banyak anggaran yang dikeluarkan untuk hal ini, maka biaya homeschooling semakin mahal.
Karenanya, keluarga diharapkan dapat menggunakan kreatifitasnya dalam mendampingi proses belajar anak, agar biaya dapat ditekan tetapi proses belajar tidak terganggu.

7. REPOT GA SIH?

Kompleksitas proses belajar yang dihasilkan dari penghargaan terhadap keunikan tiap anak memang akan menyebabkan sedikit kerepotan bagi keluarga (terutama orangtua sebagai pendidik utama). Tetapi, dengan menempuh masa adaptasi, banyak membaca referensi dan inspirasi dari keluarga lain, insyaAllah kerepotan demi kerepotan ini akan terlewati dan keluarga semakin mudah dalam menjalankan ritme program homeschooling-nya.
Prinsipnya, sebagaimana keunikan anak dan keluarga, maka tidak akan ada dua keluarga yang persis sama dalam eksekusi program homeschooling-nya. Jadi tidak perlu meniru-niru kurikulum keluarga lain, tetapi buatlah kurikulum kelaurga kita sendiri yang menyesuaikan antara kebutuhan anak sebagai pembelajar dengan ketersediaan kemampuan untuk memenuhinya.
Jaman sudah semakin canggih. Internet memudahkan kita untuk mendapatkan berbagai keperluan homeschooling secara gratis, ataupun berbayar dengan biaya yang relatif terjangkau.
Itulah tujuh rangkuman pertanyaan ‘KEPO’ yang sering diterima keluarga homeschooling. Semoga rangkuman ini dapat membuka wawasan banyak orang tentang keberadaan alternatif jalur pendidikan selain persekolahan formal yang telah ktia kenal selama ratusan tahun terakhir.
Ssssstt… homeschooling ini bukan jalur baru lho.
Keberadaan homeschooling sudah lebih dahulu dibandingkan persekolahan, karena homeschooling bahkan sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu, dan telah melahirkan banyak tokoh penting yang berkontribusi bagi perkembangan dunia. 
So, teman-teman yang sudah mantap memilih homeschooling karena memang membutuhkannya, jangan ragu ya, silakan ber-homeschooling dengan optimis, semangat, dan gembira! πŸ™‚

No Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *