Bagaimana bila suatu hari, kita menemukan si kecil membuka dan menutup laci mejanya ratusan kali dalam sehari, menimbulkan suara gaduh yang tidak bisa diterima, dan dilakukannya berulang setiap hari?
Atau, saat berada di sekolah misalnya. Ada seorang anak yang bukannya duduk diam mendengarkan lecture dari Guru, malah sibuk berdiri menyendiri menatap ke luar jendela berjam-jam, hanya untuk menunggu para pemusik jalanan lewat, agar dapat memanggilnya dan meminta dimainkan sebuah lagu yang tentu memancing kegaduhan murid-murid lain yang juga ingin melihatnya?
Oh iya, belum cukup sampai di situ, bagaimana bila kita menemukan si kecil tengah menggambar di kertas yang sudah ktia sediakan, namun gambarnya terus membesar hingga ia merasa perlu melanjutkannya di meja karena merasa kertasnya tidak muat?
Wah wah, pasti pusing ya, Bunda. 😀
Itulah sekelumit kisah “kenakalan” seorang anak perempuan kelas 1 SD bernama Totto Chan, yang diusung novel best seller karya Tetsuko Kuroyanagi dengan judul sama; “Totto-Chan”.
Dikisahkan di novel tersebut, Totto-Chan sangat unik, berbeda dengan anak-anak lain pada umumnya, lalu oleh sekolah lamanya Ia dianggap NAKAL dan sangat menyulitkan para Guru, hingga akhirnya dengan terpaksa pihak sekolah memutuskan untuk mengeluarkan Totto-Chan.
Melihat awal kisah Totto-Chan, rasanya kita mungkin akan turut larut dalam kebingungan. Kok nakal sekali ya? hehe.
Bagaimana cara menanganinya?
Adakah masa depan untuknya, sementara sekolah saja enggan mendidiknya?
Tapi sebelumnya, yang paling penting dipertanyakan, benarkah anak-anak seperti Totto-Chan ini memang nakal?
Adalah Ibu Totto-Chan, yang selalu sabar dan telaten menghadapi “ulah” putrinya itu.
Dengan selalu menyembunyikan kekhawatirannya pada Totto-Chan, sang ibu sering membuka saluran komunikasi dengan putrinya itu di waktu-waktu santai keluarga.
Dengan lemah lembut, Ibu Totto-Chan akan mulai mengurai berbagai informasi terpendam dari Totto-Chan mengenai hal-hal yang dilakukannya. hingga diketahuinya;
Ternyata Totto-Chan senang sekali membuka laci meja di sekolahnya hingga ratusan kali, karena ia senang mendengar bunyi yang ditimbulkan oleh meja barunya itu, dan begitu senangnya ia melihat model dari meja baru itu.
“Mejanya keren, Ma!” Begitu kata Totto-Chan.
Tetapi tentu saja para Guru tidak tahu kalau totto-Chan begitu antusias dengan meja barunya itu. Mereka tidak sempat bertanya mengapa ia membuka dan menutup laci mejanya terus-menerus, karena sudah keduluan merasa pusing dan sangat terganggu dengan kegaduhan yang ditimbulkan Totto-Chan.
Di lain waktu, Totto-Chan sering berdiri menyendiri di depan jendela kelasnya karena memang ia merasa bosan dengan pelajaran yang sedang berlangsung. Ia bosan dengan cara guru mengajari mereka dengan terus memberikan ceramah yang membuatnya mengantuk. Terlebih, jam-jam pelajaran yang membosankan itu bertepatan sekali dengan waktu para pemusik jalanan berjalan melewati sekolah mereka, tepat di depan jendela kelasnya.
Totto-Chan merasa akan sangat terhibur bila mendengar lagu-lagu yang dibawakan oleh mereka. Jadilah ia selalu menunggu-nunggu saat para pemusik jalanan tersebut lewat.
Kalaupun sedang tidak ada, maka Totto-Chan akan iseng mengajak para Burung bicara, sekedar menanyakan kabar mereka ataupun bertanya kapan mereka makan. Yah, semua itu dilakukannya karena ia memang amat bosan dengan pelajaran di kelasnya.
Sebaliknya, antusiasme Totto-Chan bagai tak terbendung saat diminta menggambar sebuah bendera Jepang. Seluruh kreativitas dan imajinasinya berputar-putar di otaknya, menunggu untuk dituangkan dalam karya. Jadilah ia menggambar sebuah bendera, dengan rumbai-rumbai yang panjang dan banyak sekali seperti sebuah panji. Saking banyak dan panjangnya, rumbai-rumbai itu sampai tidak muat untuk digambari di kertas, hingga harus diteruskannya di meja, tanpa ia sadari bahwa goresan di meja sulit bahkan tidak dapat lagi dihilangkan.
Yup!
Begitulah Totto-Chan.
Dan seringnya, begitulah anak-anak kita.
Mereka memiliki pikirannya sendiri, alasannya sendiri, dan keinginannya sendiri.
Yang terlihat “nakal” bagi orang dewasa, sebenarnya hanyalah interpretasi dari “banyak akal” bagi anak-anak.
“If a child can’t learn the way we teach, may be we must teach them the way they learn.” – Ignatio Estrada |
Jadi bagaimana bila anak kita seperti Totto-Chan?
Heem, mungkin kita bisa mengadopsi ketelatenan Ibunya Totto-Chan; sering membuka saluran komunikasi dengan anak.
Menangani anak-anak seperti Totto-Chan seharusnya tidak sulit, jika kita mau lebih berusaha menyelami pemikiran mereka, dan, sedikit lebih memakluminya.
Karena mereka, sebenarnya memang baru saja hadir di dunia ini, baru beradaptasi, baru belajar, dan seluruh sel syaraf otaknya pun belum tersambung sempurna.
“Mudahkan jangan mempersulit. Gembirakan, jangan membuat lari.” – HR. Bukhari & Muslim.
Tarik napas, rileks..
Yuk kita dampingi anak-anak kita dengan lebih santai dan telaten serta penuh pemakluman, dan mulai mengajarinya banyak hal (batasan/kesepakatan/hal-hal lain), dengan lebih sabar. Sungguh semuanya sedang berproses, begitu juga dengan anak-anak kita.
Selamat mendampingi tumbuh-kembang “Totto-Chan” kita ya, Bunda. 🙂
2 Comments
Dewi Rieka
Akk nampar banget deh tulisannya mamih, aku sering ngga sabaran sama bocah-bocah, yuk rileks dan hepi bersama bocah, they are amazing..
umimami
Huhu iya yeh Dew, kadang sumbu sabarnya panjang pendek, yukss belajar terus jadi orang tua terbaik untuk anak – anak kita 🙂